“Filosofi Teras”: Filsafat Yunani-Romawi Kuno Untuk Mental Tangguh Masa Kini
Resensi Buku Oleh Haikal Dwi Wicaksono
Judul: FILOSOFI TERAS
Penulis: Hanry Manampiring
Tahun Terbit: Cetakan 1, 2019
Tebal: xxiv + 344 halaman
Penerbit: PT Kompas Media Nusantara
ISBN: 978-602-412-518-9
“Kamu menderita Major Depressive Disorder”
Dalam buku ini kita bisa mempelajari bagaimana kondisi mental diri kita agar kokoh dalam menjalani hidup yang bikin mental kita down. Stigma dan salah pengertian tentang kondisi mental pun menimpa terapi dan pengobatannya. Karena kurangnya pemahaman bahwa ada aspek fisik di balik kondisi psikis, sering kali yang dianggap “terapi” hanya terbatas pada “curhat”, konseling, atau yang paling parah disembur air kembang kumuran dukun. Terapi obat untuk kondisi kejiwaan sering dipukul rata dianggap sebagai bahaya karena “tidak alami”, atau pasti akan menimbulkan “ketergantungan”.
Buku ini juga memecahkan masalah pada kondisi mental atau kejiwaan kita sudah tergoyahkan. Suatu hari, saat kondisi saya belum pulih dan masih dalam pengobatan, sambil menunggu istri saya sedang belanja di supermarket, saya iseng melangkah masuk ke sebuah toko buku. Terdapat tumpukan buku-buku terbaru, saya temui buku How To Be A Stoic karya Massimo Pigliucci.
Sesudah membaca buku Pigliucci, mata saya bagaikan terbuka dan saya seperti menemukan sebuah “terapi tanpa obat” yang bisa dipraktikkan seumur hidup. Filosofi Teras ini sangat membantu saya merasa lebih tenang, damai, dan tidak mudah stres dan marah-marah. Efek dari mempelajari Stoisisme ini begitu positifnya, bahkan terapi obat oleh Sang Psikiater bisa dihentikan jauh lebih awal dari umumnya, karena perbaikan sikap dan mental saya yang signifikan.
Filosofi Teras tidak menjanjikan rahasia untuk menghilangkan kesulitan dan tantangan hidup, tetapi justru menawarkan cara-cara untuk mengembangkan sikap mental yang lebih tangguh agar bisa tetap tenang menghadapi terapaan hidup apapun. Bagi pembaca lainnya diharapkan dapat menambah pengetahuan akan adanya sebuah pemikiran antik yang sudah berusia 2.000 tahun lebih, dan masih relevan dengan kehidupan kita sekarang.
Survei Khawatir Nasional
Survei Khawatir Nasional dilakukan selama seminggu dengan rentang waktu tanggal 11-18 November 2017, jumlah responden sebanyak 3.634 responden, dan komposisi responden 70% perempuan. Survei ini menanyakan tingkat kekhawatiran responden terhadap kehidupan secara umum dan beberapa aspek hidup yang umum bagi generasi milenial, yaitu mereka yang dilahirkan antara tahun 1980-2000. Karenanya, survei Khawatir Nasional ini juga menanyakan tingkat kekhawatiran di beberapa aspek hidup yang dirasa relevan, yaitu sekolah/studi, relationship, pekerjaan/bisnis, sampai topik yang lebih besar seperti kondisi sosial politik Indonesia.
The Cost of Worrying
Berdasarkan Survei Khawatir Nasional, ada lebih banyak orang yang merasa khawatir di dalam hidup ini, dengan dua dari tiga responden merasa khawatir secara umum. Aspek hidup yang berbeda memiliki tingkat kekhawatiran yang berbeda pula. Relationship ternyata tidak menjadi sumber kekhawatiran tertinggi, sementara peran menjadi orang tua dan keuangan cukup menjadi kekhawatiran. Di luar kehidupan pribadi, kondisi sosial politik Indonesia juga sesuatu yang sangat dikhawatirkan.
Hanry Manampiring - (X/@newsplatter)
The Problem with Positive ThinkingSering kali nasihat yang saya dapatkan adalah, “Jangan beripikiran negatif melulu dong. Thinking positive aja!” Pada umumnya, pernyataan itu berarti sebaiknya saya hanya memikirkan kemungkinan yang positif atau terbaik saja daripada memikirkan hal negatif yang mungkin terjadi. Perkembangan terakhir ilmu psikologi justru menemukan adanya potensi masalah dengan anjuran berpikir positif. Artikel “The Problem With Positive Thinking” menyebutkan bahwa positive thinking justru sering menghambat kita. Beberapa eksperimen menunjukkan, mereka yang menerapkan positve thinking dalam berusaha mencapai tujuannya sering kali memperoleh hasil yang lebih buruk dibandingkan dengan mereka yang tidak menerapkan positive thinking.
“Seorang praktisi Stoa seharusnya merasakan keceriaan senantiasa dam sukacita yang terdalam, karena ia mampu menemukan kebahagiannya sendiri, dan tidak menginginkan sukacita yang lebih daripada sukacita yang datang dari dalam (inner joys).” Hlm 27
Hidup Selaras dengan Alam
Satu prinsip utama Stoisime adalah bahwa kita harus “hidup selaras alam” (in accordance with nature). Jika kamu langsung mangantuk mendengar ini, atau tiba tiba teringat pernah membuang sampah sembarangan, tunggu dulu! “Hidup selaras alam” dalam Stoisisme tidak sesempit “memelihara harmoni dengan lingkungan hidup”, seperti tidak membuang sampah sembarangan, mencemari lingkungan, atau mencintai dan melindungi satwa langka (walaupun tentu hal-hal ini juga baik dilakukan). Di dalam Stosisme, “Alam” (Nature—dengan huruf pertama kapital) di sini lebih besar dari “lingkungan hidup”, serta mencakup keseluruhan alam semesta dan seluruh penghuninya.
Makhluk Sosial Selain memiliki nalar, Stosisme percaya bahwa sifat alami (nature) manusia adalah social creatures (makhluk sosial). Artinya, kita harus hidup sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar. Jika ini digabungkan dengan prinsip manusia harus menggunakan nalar tadi, seorang praktisi Stoa—seharusnya—hidup secara sosial, yaitu tidak mengisolasi diri dari manusia lainnya, dan juga berhubangan dengan orang lain secara rasional.
Foto Hanry Manampiring Pada Saat Pameran Buku - (Instagram/@hmanampiring)
Dikotomi Kendali
Akhir dari pembahasan buku filososfi teras yaitu pada bab empat “dikotomi kendali” karena pada bagian ini sudah mencapai pada klimaks dalam buku filosofi teras. “Some things are up to us, some things are not up to us” (Epictetus) dalam buku Enchiridion “Ada hal-hal di bawah kendali (tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak tergantung pada) kita.” Jika harus memilih hanya bisa mengingat satu kutipan saja dari berbagai teks tentang filosofi teras, biarkan kalimat dari epictetus di atas yang selalu pembaca ingat. Prinsip ini disebut “dikotomi kendali” (dichotomy of control). Bisa dibilang semua filsuf Stoa sepakat pada prinsip fundamental ini, bahwa ada hal-hal di dalam hidup yang kita kendalikan, dan ada hal yang tidak.
Lebih lanjut, Epictetus menjalaskan dalam buku Enchiridion,
“Hal-hal yang ada di bawah kendali kita bersifat merdeka, tidak terikat, tidak terhambat; tetapi hal- hal yang tidak di bawah kendali kita bersifat lemah, bagai budak, terikat, dan milik orang lain. Karenanya, budak sebagai bebas, dan hal-hal yang merupakan milik orang lain sebagai milikmu sendiri…maka kamu akan meratap, dan kamu akan selalu menyalahkan para dewa dan manusia.” Hlm 44
Dikotomi kendali harus di kendalikan apa yang ingin menjadi kendali pada hidup seseorang untuk menentukan apa yang ingin dilakukan supaya tidak menghambat jalan hidup yang sudah diperikarakan serta menjadi bebas dengan apa yang ingin dituju oleh hidup seseorang.
Komentar
Posting Komentar